“Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga” (TQS. Ar-Rahman 55:46)
Kalau boleh menjelaskan mundur, saat ini orang-orang telah sangat menganut sistem hirarki secara tidak langsung. Contohnya, untuk menghadap bos atau atasan, akan muncul terbersit rasa takut dan khawatir jika tidak memiliki persiapan. Untuk maju atau bertemu dengan atasan, maka semua hal harus dipersiapkan sedemikian rupa. Terlebih lagi apabila untuk sesi laporan. Kalau perlu, semua jajaran dikerahkan, waktu, tenaga dan pikiran dicurahkan untuk mempersiapkan berbagai kemungkinan yang akan ditanyakan oleh atasan mengenai tugas yang telah diberikan. Hal-hal ini kerap terjadi dalam pekerjaan dan pendidikan. Rasa khawatir yang dimiliki ketika akan menghadap atasan, merupakan sebuah dorongan baik untuk bekerja dan memberikan terbaik dalam pekerjaan ataupun pendidikan. Bukan menjadi hal yang harus dihindari karena sudah pasti sebuah amanah atau tugas akan dipertanggungjawabkan. Semua ini terjadi begitu nyata di era sekuler saat ini, ketika seseorang takut atau tunduk pada orang lain yang notabene adalah sesama ciptaan-Nya.
Jika kembali pada firman Allah pada pembuka tulisan ini, maka menghadap Sang Pencipta adalah sebuah kepastian, karena manusia harus mempertanggungjawabkan segala hal yang diamanahkan, dititipkan-Nya selama hidup manusia tersebut. Lalu, kalau laporan pertanggungjawaban ke atasan saja memunculkan kekhawatiran dan ketakutan tersendiri maka bagaimana dengan pertanggungjawaban dihadapan Sang Maha Kuasa ? Kalau apa yang dipertanggungjawabkan di depan atasan dan kurang sesuai dengan harapan atasan, maka kemungkinan yang muncul adalah pemberian surat peringatan (SP), hingga pemutusan hubungan kerja. Dampaknya pada sumber pendapatan finansial keluarga dan keberlangsungan hidup. Sesungguh-Nya, pemilik apa di langit dan bumi hanyalah Allah SWT.
Apabila pertanggungjawaban dihadapan-Nya tidak sesuai dengan yang diberikan oleh tuntunan-Nya, maka dampak yang akan terjadi akan berada pada penentuan pada dimana akan dimasukkan yakni surga atau neraka. Rasa takut akan siksa neraka-Nya dan rasa harap mendapatkan surga-Nya merupakan perpaduan prinsip dan dasar dalam mempersiapkan pertanggungjawaban dihadapan-Nya. Indikator kesuksesan seseorang dalam menjadi hamba, telah banyak disebutkan dalam petunjuk-Nya. Semua telah jelas mana yang hitam, mana yang putih. Mana yang benar mana yang salah. Allah SWT yang tak hanya Yang Maha Esa, tetapi juga Yang Maha Adil, Yang Maha Mulia, Yang Maha Bijaksana, Yang Maha Pembimbing dan nama-nama baik-Nya yang 99 itu tak membiarkan manusia menjalani hidup ini dengan tanpa modal apapun. Tapi, manusia telah diberi akal yang merupakan keistimewaan manusia dibanding ciptaan yang lain. Manusia yang berakal, akan menuju jalan keimanan. Karena dengan akal, manusia bisa memahami pada hakikat dirinya yang sesungguhnya dengan menanyakan dan mencari jawaban yang benar tentang dari mana dia berasal, untuk apa dia diciptakan, dan kemana dia akan kembali pulang.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya, di bawah mereka mengalir sungai-sungai di dalam surga yang penuh kenikmatan. (TQS. Yunus (20):9)
Dari sini, semoga kita semakin semangat untuk mempelajari, memahami, dan berbagi akan petunjuk-Nya. Karena manusia sebagai makhluk sosial tentu memiliki keinginan agar orang-orang yang lain juga kelak selamat dan menang dalam laporanpertanggungjawaban ketika kelak menghadap-Nya.
Inspired by : Buku Nafsiyah Islamiyahdan warta BAZNAS
#TetepAMNM
#learning
#TheGuidance
#reflection