Permisi share tulisan tahun 2017, mungkin masih relevan hingga saat ini,
Have a nice reading !
Belajar
sebagai mahasiswi Kesehatan Masyarakat, menjadikan saya selalu terpapar dengan
berita-berita yang terkait dengan kesehatan masyarakat terutama dalam hal
Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.
Indonesia yang sejauh ini menggunakan sistem Demokrasi menyandarkan
berbagai acuan dan keputusan berdasarkan Undang-Undang Dasar dan diterjemahkan
pada tataran Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, hingga
Peraturan teknis. Semua itu adalah produk akal manusia yang mana sebagai
makhluk ciptaan Allah SWT tentu jauh dari kata sempurna.
Di
era saat ini Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah isu yang selalu
memunculkan polemik dan keresahan di masyarakat. Hal ini masih terhitung baru yakni
dimulai sejak tahun 2014, program yang berjalan 3 tahun. Jaminan Kesehatan
adalah perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan
kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan, yang diberikan kepada setiap orang yang telah
membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Jaminan kesehatan muncul dikarenakan biaya
kesehatan yang tinggi dan tidak dapat ditanggung sendiri oleh individu atau
keluarga.
Pada tahun 2017 ini BPJS Kesehatan defisit 9
Triliun. Hal ini diduga oleh Pemerintah bahwa Pemerintah Daerah masih minim
dalam menanggung sendiri dana layanan kesehatan (nasional kompas, 2017). Selain
itu, penyeba lain seperti yang dilansir dalam tirto.id yakni karena sistem yang
kurang maksimal hingga iuran menjadi tidak optimal. Dalam salah satu diskusi
yang bertemakan “BPJS Tekor? Bagaimana mengatasinya?” juga dalam artikel yang
sama, diperjelas bahwa defisit itu penyebab terutama dari sisi input. Dalam
laporan keuangan BPJS Kesehatan yang dipaparkan Timboel, per 30 Juni 2017 ,
iuran yang bisa diterima BPJS Kesehatan selama 1 semester sebesar 35,96 Triliun
Rupiah namun pembiayaan sebesar 41 Triliun Rupiah. Sering sekali dikembalikan
pada upaya perubahan premi kembali yang berdasar pada Peraturan Presiden Nomor
111 Tahun 2013 pasal 16 i yang menyatakan bahwa iuran PBI harus ditinjau dua
tahun sekali.
Upaya yang terlihat seperti secara terus menerus
membebankan kepada masyarakat serta pemerintah daerah, memunculkan pertanyaan
sampai kapan kesehatan di Indonesia akan seperti ini ? Kesehatan hanya bagi
yang bisa membayar. Sedangkan kesehatan adalah kebutuhan setiap orang. Di era
yang kapitalis ini, jelas sekali bahwa Kesehatan telah di liberalisasi. Terlihat
dari penyebab tingginya biaya pelayanan kesehatan. Ketika dilihat dari input,
proses dan output dalam sistem pelayanan kesehatan. Dilihat dari input nya
yakni para petugas kesehatan baik medis dan non medis tanpa menuduh profesi
tertentu semua nya adalah lulusan sekolah tinggi dengan kompetensi
masing-masing. Pendidikan di era saat ini yang termasuk dalam membeli kualitas
dengan harga menjadikan menuntut ilmu untuk mengembalikan modal. Selain itu,
paradigma di masyarakat yang masih belum menganit paradigma sehat (mencegah
lebih baik dari pada mengobati) menjadikan angka kesakitan terus meningkat
terutama penyakit tidak menular seperti penyakit jantung, gagal ginjal, kanker,
stroke, hingga thalasemia (health detik.com). Namun, bagaimana masyarakat dapat
memiliki paradigma sehat apabila tidak didukung dengan lingkungan yang kondusif
yakni pengarusan se arah yang dinaungi oleh pemerintah. Tataran individu akan
lemah ketika tergerus dengan budaya pola hidup tidak sehat seperti merokok,
kurang gerak, hingga makan makanan tidak sehat.
Penekanan dalam hal iuran akan terus menerus
memberatkan masyarakat dan pola hidup sehat yang tidak disuasanakan akan sangat
sulit untuk tercapai. Maka, penting dilihat kembali bagaimana keberdayaan
ekonomi negara Indonesia. Dengan sistem ekonomi yang kuat dari kedigdayaan dan
kebangkitan bangsa Indonesia maka BPJS akan tak menjadi tukang palak bagi
masyarakat Indonesia serta tak akan berada pada keadaan defisit. Sistem
kesehatan tidak bisa berdiri sendiri karena sangat berkaitan erat dengan sistem
ekonomi, politik, sosial hingga keamanan negara karena sehat itu sejahtera tak
hanya fisik namun juga mental. Maka sesungguhnya ketika mengubah sistem
kesehatan nya maka membutuhkan perubahan sistematis pula pada sistem yang lain
agar tidak hanya solusi “tambal sulam”. Era sekulerisme menjadikan tekanan
hidup semakin tinggi, semua diukur dengan uang termasuk masyarakat baru bisa
mendapatkan pelayanan kesehatan jika ada uang atau membayar premi. Solusi
menyeluruh itu sesungguhnya sudah ada dalam agama Islam yakni adanya sistem
ekonomi, politik, hingga pergaulan yang datang dari Sang Maha Sempurna karena
sesungguhnya Islam itu menyeluruh dan sempurna.
Allah Ta’ala berfirman:
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ
الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً)
“Wahai
orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta
ulil amri diantara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka
kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian benar-benar beriman
kepada Allah dan hari akhir.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59).
Sumber :
Sukmana, Yoga.
2017. “BPJS Kesehatan Defisit Rp 9 Triliun, Pemerintah Sentil Minimnya Kontribusi”.
http://nasional.kompas.com/read/2017/11/06/17193991/bpjs-kesehatan-defisit-rp-9-triliun-pemerintah-sentil-minimnya-kontribusi
http://www.bpjs-kis.info/2016/09/iuran-bpjs-kesehatan-yang-baru-tahun-ini.html
https://health.detik.com/read/2016/03/14/173527/3164513/763/5-penyakit-tak-menular-yang-gerogoti-dana-bpjs
Jika teman-teman yang membaca ini dan mendapatkan inspirasi, atau petanyaan, let me know ya bisa langsung e-mail ke anis.wulandari.sa@gmail.com or just feel free to hit me at instagram @anis_astur. I would love to have further discussion with you folks! Stay healthy!

